Senin, 24 Januari 2011

ISLAMISASI


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan Islam tumbuh dan berkembang sejalan dengan adanya dakwah Islam yang telah dilakukan Nabi Muhammad saw, pendidikan Islam memiliki corak dan karakteristik yang berbeda sejalan dengan upaya pembaruan pendidikan yang dilakukan terus menerus pascagenerasi Nabi saw. sehingga dalam perjalanan selanjutnya pendidikan Islam harus tetap dikembangkan agar mengalami perubahan baik dari segi kurikulum maupun dari lembaga pendidikannya.[1] Artinya dengan upaya perubahan yang sedikit benar-benar akan tampak dan terjadi secara alamih dalam pendidikan Islam.
Untuk melahirkan generasi baru yang akan membawa pembaruan pendidikan sangat akrab dengan tradisinya sendiri, dan terdidik secara intelektual untuk menyadari perkembangan pengetahuan manusia. Sayangnya sistem pendidikan seperti ini masih belum lazim dinegara-negara Islam.
Pada dasarnya ada dua sistem pendidikan  di Indonesia. Pertama, sistem pendidikan tradisional yang hanya sebatas mengajarkan pengetahuan klasik atau pengetahuan tradisional, yang kemudian tidak memperhatikan cabang-cabang ilmu pengetahuan baru yang lahir di barat. Karena itu sistem pendidikan bernilai pengetahuan teologi klasik, juga hanya menghasilkan para teologi yang tidak mempunyai pengetahuan atau metode intelektual untuk menghadapi tantangan peradaban teknologi modern yang tidak bertuhan. Kedua, sistem pendidikan modern yang diimpor dari barat, yang benar-benar dianut dan didukung oleh pemerintahan negara-negara Islam. Puncak sistem pendidikan ini berupa sekolah dan universitas modern yang sepenuhnya sekuler terhadap pengetahuan non-agamis. Dan para alumninya secara umum tidak menyadari warisan klasik dan tradisi sendiri. Kitapun tidak mungkin mengharapkan dari tradisi klasik atau tradisional akan lahirnya pemimpin seperti yang kita andaikan dari sistem pendidikan tradisional yang tidak mampu berkompetisi dalam pengembangan sumber daya manusia untuk menciptakan kecerdasan rasional, sosial, emosional.[2]
Umat Islam berkeharusan menciptakan pembaruan sistem yakni sistem pendidikan terpadu, kendati pemaduan bukan pekerjaan mudah. Namun adalah keliru bila pemaduan ini sampai menyingkirkan pendidikan agama lalu kemudian menurunkan derajatnya sehingga banyak orang yang meremehkan untuk tidak mempelajarinya, atau tidak juga mengorbankan yang belajar ilmu modern. Pembaruan pendidikan yang dimaksud penulis adalah antara ilmu umum dan agama tidak lagi menjadi dua sistem pendidikan yang berbeda akan tetapi bagaimana mengislamkan seluruh cabang ilmu pengetahuan kemudian mengatur manajemen, kurikulum, pelembagaan pendidikannya adalah sekolah atau institusi Islam yang dianggap proporsional dalam bidang pendidikan.
Segala upaya dilakukan untuk mengenyahkan dikotomi pendidikan dengan mengislamkan pendidikan modern, tetapi semua itu belum mencapai sasaran karena belum mampu memecahkan persoalan dikotomi tersebut. Kegagalan inilah yang memperparah krisis yang kini melanda masyarakat Islam dan sistem pendidikannya. Kendati sudah mewajibkan pendidikan agama namun hingga sekarang belum ada upaya untuk mengajarkan dan memberikan pendampingan terhadap sains alam dan sosial, seni dan sastra dari sudut pandang Islam. Akibatnya agama yang dipelajari peserta didik ditentang oleh pelajar sains alam, sosial atau kemanusiaan.
             Epistemologi Barat yang menjadi landasan paradigma ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan biang malapetaka. Dominasi epistemologi barat sebagai pengendali ilmu pengetahuan dan teknologi di sinyalir telah memisahkan manusia dengan Tuhan, dan bukan manusia berperan sebagai subjek dan objek ilmu pengetahuan dari Tuhan yang telah menciptakan.[3] Ilmu pengetahuan secara historis, dapat dilihat dengan hadirnya ilmu pengetahuan barat memang berawal dari akibat persitegangan antara agama dengan pihak intelektual atau ilmuan. Kegiatan-kegiatan gereja dalam seluruh kehidupan masyarakat mengilhami perlawanan kaum ilmuan untuk melepaskan diri dari gereja dan dari sini muncul faham sekularisme, karena perilaku gereja yang otoriter memunculkan sikap apriori para ilmuan terhadap semua agama.
            Reaksi para ilmuan barat terhadap agama, telah nampak, seperti adanya penolakan pertimbangan nilai termasuk nilai-nilai agama dalam rangka memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan.[4] Secara aksiomatik dapat dipahami bahwa sejak barat mengalami revolusi industri pada abad pertengahan. Konstruksi peradaban barat mengalami pergeseran paradigma yang sangat mencolok kepada manusia tanpa batasan norma termasuk agama, moral dan etika. Perkembangan dialektika humanitas yang berpengaruh dalam faham rasionalisme, empirisme dan positifisme telah mengarahkan peradaban manusia dalam kehidupan sekuler sehingga menyebabkan kondisi peradaban terutama dari segi aspek religiusitas telah mengalami marjinisasi yang siqnifikan.
Seorang ilmuan Rusia “Alexander” sangat membenarkan bahwa pada hakikat manusia hidup di tengah-tengah budaya sekularisme dan ateisme, dimana manusia telah kehilangan Tuhan. Sekalipun ilmu pengetahuan dan teknologi telah meraih puncak pengetahuan yang luar biasa, namun bukannya manusia mendapatkan ketenangan melainkan sebaliknya manusia dirundung kegelisahan, kecemasan dan terkadang dengan ancaman.[5]
            Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi barat tidak memiliki bingkai nilai yang jelas. Ketiadaan nilailah yang  mengakibatkan aksiologi ilmu pengetahuan barat yang hanya di bingkai dengan semangat paragmatis, materialistis. karena itu Roger Garaudy mengatakan bahwa krisis global adalah sebagai “faules solitates” yaitu kesepian dalam keramaian, penderitaan dalam kegelimpahan, manusia telah terserabut dari aspek-aspek utuhnya cinta, kehangatan, kepastian masa depan, kekerabatan, keindahan dan ketenangan.[6] Adapun dampak yang muncul dari lajunya perkembangan ilmu pengetahuan sekuleristik telah dirasakan seluruh pelosok dunia termasuk negara muslim, dan telah memasuki semua lini dalam kehidupan manusia, terutama dalam pendidikan. Pengaruh sekularisasi sudah demikian akut dalam segala bentuk dan jenjang pendidikan, dimana pandangan barat telah mengakar begitu kuat dari tingkat dasar sampai keperguruan tinggi Islam. Tentu hal ini bukan saja mengancam pendidikan Islam tetapi juga peradaban dan agama Islam itu sendiri.[7]
Pada abad VII dan abad XIII M, pasca kehancuran Bagdad dan Granada sebagai pusat pendidikan dan kebudayaan Islam. Dengan demikian masa pembaruan pendidikan Islam adalah sebuah totalitas kesadaran kolektif umat Islam terhadap segala kekurangan dan problematika yang dihadapi pendidikan Islam untuk kemudian dapat diperbaiki dan diperbarui sesuai dengan kemajuan atau paling tidak dapat mengikuti perkembangan yang dilakukan barat kemudiam mengislamkannya.
            Pendidikan Islam saat ini merupakan  warisan dari periode klasik, yang bukan lagi ditegakkan atas pondasi intelektual spiritual yang kokoh, sehingga prinsip-prinsip dikotomi antara ilmu Agama diindikasi pada kerapuhan dasar filosofis pendidikan Islam. Dikotomi terlihat dengan jelas pada adanya dualisme sistem pendidikan di negara-negara Muslim, seperti pesantren dengan segala variasi dan implikasinya dalam pembentukan wawasan intelektual ke-Islaman umat dan sistem pendidikan umum dengan segala dampak dan akibatnya dalam persepsi keagamaan.[8]  
            Sementara penyebab utama dari kerancuan dan kesenjangan pendidikan termasuk dikotomi dualistik pendidikan di negara Islam dengan segala akibat yang di timbulkan merupakan warisan zaman kolonialisasi bangsa barat yang menganut paham sekuler terhadap Negara Islam selama berabad-abad.
Mencermati hal tersebut, usaha untuk mencermati paradigma baru pendidikan Islam tidak akan pernah berhenti sesuai dengan tantangan zaman yang terus berubah dan berkembang. Dengan demikian perkembangan filsafat dan iptek tetap menggunakan metodologi keilmuan yang secara  intrinsik menjadi tuntutan universal yang kemudian didasari, diarahkan dan dijiwai oleh nilai etika moral yang Islami sehingga ilmu umum dan ilmu agama keduanya akan tetap berkembang dalam perspektif ajaran Islam.
pada ilmu sudah terkandung secara esensial dalam al-Qur’an Allah berfirman dalam Q.S. al-Mujaadilah (58):11. 
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz

Terjemahnya :
Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S. al-Mujaadilah (58):11[9]

Ayat tersebut menunjukkan bahwa Allah memuliakan orang-orang yang beriman dan orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan dengan mengangkat derajat mereka, sehingga setiap orang yang memiliki pengetahuan di bidang iptek dan mampu mengaktualisasikannya untuk kemaslahatan manusia, kemudian diimbangi dengan penghayatan terhadap nilai-nilai Islam, maka posisinya akan tetap eksis dan mendapat kemuliaan di tengah-tengah masyarakat yang plural dan heterogen.
            Disinilah pentingnya umat Islam mengembangkan paradigma baru pendidikan dan berusaha menggali kembali ajaran Islam (studi Islam)[10] dengan metode[11] dan pendekatan[12] sains modern.
            Keprihatinan mendalam munculnya dikotomi ilmu dan dualisme pendidikan dalam sistem kependidikan juga dirasakan oleh Mastuhu yang mengatakan bahwa dengan diperkenalkan sistem sekolah agama dan sekolah umum berakses munculnya kepribadian tidak seimbang pada lulusan sekolah tersebut. Bahkan dikotomi dualistik itu telah menghasilkan kesan bahwa sekolah agama berjalan tanpa teknologi dan sebaliknya sekolah umum hadir tanpa sentuhan agama.[13]
 Mochtar Naim melihat bahwa pendidikan yang dibingkai dikotomi-dualistik telah mengalinasi agama dari makna yang sebenarnya, lebih jauh ia mengatakan:
Diantara akibat dan dampak negatif dari sistem pendidikan yang dualistik itu, ialah:
1.      Arti agama telah dipersempit yaitu sejauh yang berkaitan dengan aspek teologi  Islam seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama selama ini.
2.      Sekolah agama dan umum telah terkotak kemudian menjadi eksklusif. Atau terpisah dengan yang lainnya.
3.      Sumber masukan sekolah agama dan Perguruan Tinggi Agama Islam rata-rata ber I.Q. rendah dan dari kelompok residual, mutu tamatannya adalah medioker (termasuk kelas dua).[14]

Para kritikus menyatakan bahwa dikotomi-dualistik pendidikan harus diakhiri dengan mengintegrasikan sistem pendidikan yang menghilangkan perbedaan antara pengetahuan yang diklaim ilmu umum dengan ilmu agama. Sistem pendidikan Barat adalah sekuler, maka perlu direformasi dengan maksud menyelamatkan masyarakat dari sekularisasi serta ketiadaan tujuan hidup sebagaimana yang dialami masyarakat Barat masa kini.
            Dikalangan umat Islam ikhtiar yang dilakukan sebagai wujud keprihatinan dan kepeduliannya terhadap dampak perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sekuler materialistik muncul dalam gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan. .[15]
            Dawam Raharjo misalnya, mengamati bahwa kegiatan yang paling menonjol dilakukan sebagian besar intelektual Muslim akhir-akhir ini adalah gerakan Islamisasi ilmu pengetahuan.[16] sebagai sebuah upaya mengantisipasi dampak negatif ilmu pengetahuan dan teknologi yang bebas nilai.[17]
            Dalam konteks ke Indonesiaan, konsep Islamisasi ilmu pengetahuan menjadi cukup signifikan didiskusikan. Karena sistem pendidikan Indonesia sebagaimana pengakuan beberapa ilmuan seperti Syafii Maarif, Mastuhu, Mochtar Naim dan lain-lain juga terperangkap pada persoalan sistem dualisme pendidikan. Sehingga gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan setidaknya menjadi alternatif perbandingan dalam melakukan pembaharuan pendidikan di Indonesia.
            Memang tidak dapat dipungkiri dikalangan para cendikiawan muslimpun terdapat sikap pro dan kontra dalam menyikapi isu Islamisasi pengetahuan karena masing-masing pihak yang pro beragumentasi bahwa:
1.      Umat Islam membutukan sebuah sistem sains untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, baik material maupun spiritual, sedangkan sistim sains yang ada sekarang belum mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, karena banyak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam.
2.      kenyataan membuktikan bahwa sains modern telah menimbulkan ancaman-ancaman bagi kelangsungan dan kehidupan umat manusia dan lingkungannya.
3.      umat Islam pernah memiliki suatu peradaban Islami, yaitu sains berkembang sesuai dengan nilai-nilai dan kebutuhan umat, sehingga untuk menciptakan kembali sains Islam dalam peradaban yang Islami dengan demikian perlu melakukan Islamisasi sains.[18]

Sedangkan pihak yang kontra berargumentasi bahwa dilihat dari segi historis, perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Barat saat ini banyak di ilhami oleh para ulama Islam yang ditransformasikan terutama pada masa keemasan Islam sehingga mereka banyak berhutang budi terhadap imuawan Islam. Karena itu jika kita mau meraih kemajuan dibidang iptek, maka kita perlu melakukan transformasi  besar-besaran dari barat tanpa ada rasa curiga, walaupun tentu harus selalu waspada. Pada dasarnya iptek adalah netral adanya ia bergantung pada pembawa dan pengembangnya. Karena itulah Islamisasi ilmu pengetahuan tidak begitu penting, tetapi yang sangat penting adalah Islamisasi subjek atau pembawa pengembang iptek itu sendiri.
Jika dicermati argumentasi antara yang pro dan kontra, sebenarnya mempunyai pretensi yang sama, karena keduanya sama-sama menginginkan terwujudnya kemajuan peradaban yang Islami dan masing-masing juga tidak menghendaki terpuruknya kondisi umat Islam ditengah-tengah akselerasi perkembangan dan kemajuan iptek. Hanya saja pihak yang pro lebih melihat dimensi ilmu pengetahuan sebagai objek kajian yang perlu mencari landasan filosofisnya yang Islami, sedangkan pihak yang kontra lebih melihat subjeknya atau pembawa dan pengembang iptek itu sendiri yang lebih Islami.
Islam tidak membedakan antara ilmu agama dan ilmu umum atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama, sebagai jalan tol menuju Tuhan.
Sebelum kehancuran teologi mu’tazilah pada masa khalifah Al-ma’mun telah mempelajari ilmu-ilmu umum (kajian-kajian nalar dan empiris) ada dalam kurikulum madrasah tetapi dengan pemakruhan dan bahkan lebih ironis lagi “pengharaman” tentang penggunaan nalar, tetapi setelah runtuhnya mu’tazilah ilmu-ilmu umum yang dicurigai itu dihapuskan dari madrasah. Bagi yang berminat mempelajari ilmu umum yang mempunyai semangat scientific inquiry atau penyelidikan ilmiah guna membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah, terpaksa harus belajar sendidri-sendiri atau dibawah tanah, karena dipandang sebagai ilmu subversive yang dapat menggugat kemampuan doktrin sunni.
Perbedaan jenis pengetahuan mulai ada sejak berkembangnya abad penalaran yang mengubah konsep dasar dari kesamaan kepada perbedaan, timbulnya perbedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan sejak berkembangnya abad penalaran yang mengubah konsep dasar kesamaan menjadi perbedaan.[19]
Perbedaan pengetahuan yang pesat telah memunculkan cabang yang kemudian dari cabang itulah muncullah ranting-ranting yang jumlahnya makin banyak, dan dari proses itu ternyata ada cabang pengetahuan yang berjalan secara sendiri dan berbeda dengan cabang pengetahuan yang lain, dan cabang pengetahuan tersebut tidak lain adalah ilmu, ia berbeda terutama dari segi metodenya. Secara metafisika ilmu mulai dipisahkan dengan moral, berdasarkan objek yang menjadi fokus kajian yang mulai dibedakan antara ilmu umum dengan ilmu agama. [20]
Dengan demikian dalam perspektif ilmu, segala sesuatu harus ilmiah dalam arti ilmu harus dapat dipertanggungjawabkan, sebab pembuktian ilmiah sangat mendukung sebuah kebenaran secara keilmuan, dalam hal ini Islam sangat mendukung karena banyak ayat-ayat al-Quran yang menyuruh manusia untuk berfikir, selalu dinamis dan tidak statis . Islamisasi pengetahuan dapat dipahami sebagai upaya membangun kembali semangat umat Islam dalam berilmu pengetahuan, mengembangkannya melalui kebebasan penalaran intelektual dan kajian rasional empirik atau semangat pengembangan ilmiah dengan tidak terdogma dengan dualisme atau dikotomi ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
            Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah diketengahkan di atas merupakan sebuah alasan mendasar bagi penulis mengangkat karya ilmiah ini dengan mengajukan pokok permasalahan: Bagaimana Islamisasi ilmu pengetahuan dalam meretas dikotomi ilmu?
            Bertolak dari masalah pokok di atas, dikemukakan tiga sub masalah, sebagai berikut :

1.      Bagaimana pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan?
2.      Mengapa terjadi dikotomi ilmu dan Dualime Pendidikan dan sejauhmana pengaruhnya terhadap kemunduran pendidikan Islam?
3.      Bagaimana metode Islamisasi ilmu pengetahuan dan pola pembaruan pendidikan Islam?
C. Pengertian Judul dan Definisi Operasional
            Sebagai upaya untuk menghilangkan masalah interpretasi terhadap subtansi judul ini maka penulis perlu menjelaskan beberapa istilah kunci dalam kajian ini antara lain: 
            Istilah “Islamisasi Ilmu pengetahuan”, memberikan arti sebagai sebuah pemahaman, pikiran atau ide yang menempatkan Islam sebagai nilai yang harus dijabarkan dan disosialisasikan dalam segmen kehidupan manusia. Di mana Islam merupakan agama yang universal, yang menjadikan manusia bukan hanya berperan sebagai hamba Allah tetapi juga wakil-Nya di muka bumi dengan menekankan satu kebenaran abadi yang telah ada sejak permulaan yaitu kebenaran Tauhid.[21]
            Paradigma Islamisasi tersebut lebih terlihat pada pandangan non muslim termasuk pandangan ilmuwan barat, sebagai ancaman yang sangat dominan, sedangkan orang-orang Islam harus berlindung untuk menyelamatkan identitas dan otentitas ajaran agama Islam, oleh karena itu di butuhkan suatu upaya dalam mengendalikan perubahan sosial dan diperlukan merumuskan ukuran normatif dibidang pengetahuan agar dapat menemukan corak yang lebih khas tentang Islam. 
            Jadi secara operasioal yang dimaksud  Islamisasi ilmu pengetahuan sebagai persepsi Islamisasi dalam mengatasi kelemahan paradigma ilmu pengetahuan Barat yang telah menciptakan dikotomi ilmu dengan menitik beratkan pembahasannya pada upaya pemecahan terhadap masalah dikotomi ilmu pengetahuan.
Sedangkan kata “Meretas Dikotomi Ilmu“ diambil dari pengertian teks, asal kata dari retas yang artinya: memutuskan, membuka, merintis atau membedah sesuatu. Jadi pengertian kalimat tersebut dalam tesis ini sebagai upaya membuka jalan atau menanggalkan paham dikotomi dalam pendidikan.[22]
Kata di atas memberikan pandangan bahwa dengan adanya pendikotomian ilmu maka diperlukan adanya sebuah jalan untuk menuntaskannya, tentu dengan banyak bercermin pada pendidikan sebelum kaum kolonial belum menerapkan sistem pendidikannya, dimana ilmu pengetahuan dipahami sebagai anugerah yang bersumber  dari Allah sehingga tidak ada pendikotomian ilmu pengetahuan  meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan sistem keyakinan agama merupakan dua substansi yang tidak dapat dipadukan satu sama lain menjadi satu kesatuan yang harmonis dalam proses pendidikan. Pengertian tersebut didasarkan pada pandangan H.A.R. Gibb yang mengatakan dikotomi adalah paham yang meyakini bahwa dalam setiap sesuatu terdapat dua substansi yang bebas dan satu sama lain tidak dapat dikurangi.[23] Di mana pendidikan dimaksud sebagai proses pembentukan kecakapan secara intelektual dan emosional ke arah alam sesama manusia. Dengan adanya dua sistem pendidikan sebagai dikotomi ilmu pengetahuan kesalehan merupakan tujuan pendidikan dimana metode pendidikannya kerap kali tidak memberikan kebebasan dalam berfikir ini disebabkan para pemikir selalu terkontaminasi dengan adanya dikotomi ilmu.
D. Kajian Pustaka
            Apabila ditelusuri literatur yang berkaitan dengan pembahasan seputar dari tesis ini. Sesungguhnya berbicara masalah pembaruan dan Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan wacana aktual di kalangan pemikir Islam dunia, sebagai sebuah wacana bukan hal yang sulit ditemukan referensinya dalam berbagai bentuk tulisan, hanya saja, khususnya di Indonesia tidak lagi populer sebagai wacana ilmiah. Tulisan-tulisan pun tentang Islamisasi ilmu pengetahuan lebih banyak berbentuk kumpulan tulisan, seperti bunga rampai, jurnal, makalah dan terjemahan. Artinya konsep Islamisasi ilmu pengetahuan di Indonesia belum tuntas sebagai kajian yang bersifat standar.
            Beberapa karya tulis dalam bentuk buku atau kajian standar, dapat dikemukakan seperti, karya, Muhaimin dalam bukunya: Nuansa baru pendidikan Islam, yang menjelaskan tentang Wacana Islamisasi ilmu pengetahuan. Karya Ka’bah Kafyal, Islam Fundamentalisme yang menguraikan tentang Islam pentingya perubahan pendidikan Islam. Muhammad Naquib al-Attas dengan judul “Konsep Pendidikan dalam Islam“ yang menguraikan secara sistematik langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan, karya Ziauddin Sarndan yang menawarkan berbagai rekayasa karakter ilmu-ilmu Islam dengan parameter-parameter sains Islam yang biasa diartikulasikan dalam kehidupan umat dalam bukunya yang berjudul Jihad Intelektual merumuskan Parameter-parameter Sains Islam”, serta buku persembahan Seyyed Hossein Naser dan Ali Ashraf yang dikemas dengan judul “ Kritis dalam Pendidikan Islam”, begitu juga karya Ali Ashraf dalam bukunya “ Horison Baru Pendidikan Islam” yang keduanya banyak berbicara seputar kesulitan dan tantangan yang dihadapi dunia pendidikan.[24]
            Buku-buku literature yang dikemukakan di atas, dapat mewakili dari sekian referensi sebagai rujukan dalam penulisan tesis ini. Namun demikian menurut hemat penulis, buku-buku tersebut hanya membahas secara global dan umum tentang Islamisasi dan dikotomi pendidikan.
E. Metode Penelitian
1.      Pendekatan
Studi dalam penelitian ini adalah Islamisasi ilmu pengetahuan dalam meretas dikotomi ilmu, untuk memberikan gambaran yang jelas judul ini, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada beberapa aspek antara lain :
Pendekatan sejarah yakni menelusuri perkembangan pendidikan Islam dan umum tentu dengan tujuan memperoleh informasi tentang pendidikan dan awal terjadinya pendikotomiannya.
Pendekatan psikologis pedagogis digunakan karena pemaparan permasalahan ini berkaitan dengan aspek pendidikan Islam dan umum tujuannya dan pengaruhnya terhadap keberagamaan mahasiswa dan masyarakat khususnya masyarakat akademik.
Pendekatan teologis digunakan karena dalam kajian ini dikemukakan materi pendidikan Islam dan umum yang syarat dengan aspek teologis dalam perspektif al-Qur’an dan hadits Nabi. Sehingga pemahaman teologis dapat dijadikan landasan dalam membangun ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kesejahteraan umat manusia.
Pendekatan filosofis digunakan untuk mengungkapkan urgensi pendidikan agama dan umum secara komprehensif sehingga dapat dipahami inti, atau hakekat makna dan hikmah dari pembahasan tesis ini.
Pendekatan teoritis, yakni dengan mengabungkan ungkapan atau teori dari berbagai pihak bertujuan untuk mengembangkan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang dapat mendukung tesis ini selesai.
2.      Metode pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan (penelitian kepustakaan), mengklasifikasikan berbagai materi yang berkaitan dengan pendidikan Islam dan sekuler dilihat dari aspek dan implikasinya terhadap pembaruan pendidikan dalam kemajuan sains modern dewasa ini.
Adapun proses pengumpulan data melalui  Library research penulis mengumpulkan informasi teoritis melalui penelusuran dari beberapa referensi berupa buku, majalah, jurnal, atau karya ilmiah lainnya serta beberapa sumber bacaan yang relevan dengan pembahasan tesis ini.
F. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1.      Tujuan Penelitian ini adalah :
a.      Untuk menggambarkan pandangan Islam tentang ilmu pengetahuan
b.      Untuk menggambarkan mengapa terjadi dikotomi ilmu dan Dualime Pendidikan dan apa yang melatar belakangi kemunduran Pendidikan Islam
c.      Untuk menggambarkan mengapa terjadi Islamisasi ilmu pengetahuan dan sejauhmana pendidikan Islam melakukan  pembaruan pendidikan Islam
1.      Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagai berikut:
a.      Kegunaan teoritis
Memiliki nilai akademis yang dapat memberikan konstribusi konstruktif dalam pengembangan pendidikan agama Islam, Dapat memberi pemahaman tentang pembaruan dan Islamisasi ilmu pengetahuan dalam membuka paradigma baru terhadap pendidikan Islam, sehingga dikotomi antara pendidikan Islam dengan pendidikan Umum dapat sinerji menjadi satu kesatuan yang saling melengkapi.
b.      Kegunaan praktis
      proses pembelajaran dapat berdaya guna; yang pada gilarannya posisi pendidikan agama Islam bukan lagi dilihat dari eksistensinya yang cenderung terpinggirkan dan teralienasi, akan tetapi pendidikan agama Islam berfungsi dan memiliki peran strategis dalam Islamisasi ilmu dan perkembangannya.
G. Sistematika Pembahasan

            Tesis ini terbagi atas lima bab, setiap bab dikemukakan menjadi sub bab. Yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan.
            Bab pertama adalah pendahuluan, latar belakang, rumusan masalah, serta penjelasan tentang metode penelitian, tujuan dan kegunaan penelitan, dan sistematika pembahasan. Rumusan dan batasan masalah terlebih dahulu dibahas, agar penulis dapat mengetahui mengapa penelitian ini dilakukan serta dapat mengetahui apa yang menjadi subtansi permasalahannya, tujuannya agar keseluruhan faktor dan aspek yang mempengaruhi setiap masalah menjadi jelas dan akurat.
            Bab kedua sebagai awal pembahasan teori/materi yang mengemukakan ilmu pengetahuan dalam pandangan Islam. Dan Pada bab ini pula diuraikan pengertian ilmu pengetahuan, cara memperoleh ilmu pengetahuan, Proses pendidikan Islam. Diharapkan dengan pembahasan ini dapat diketahui tentang arah ilmu pengetahuan.
            Bab ketiga diuraikan tentang ilmu agama dan ilmu umum yang terdiri dari tiga sub pokok bahasan yaitu: pertumbuhan ilmu agama dan ilmu umum, dikotomi ilmu pengetahuan dan dualisme pendidikan Islam, kemunduran pendidikan Islam. Tujuannya adalah agar dapat mengungkap tentang dikotomi ilmu pengetahuan yang salama ini belum mencapai titik temu.
Bab keempat untuk mengahiri pembahasan teori maka dalam bab ini menguraikan Islamisasi ilmu pengetahuan serta Pola pembaruan pendidikan Islam, tujuannya adalah memberikan gambaran tentang arah pendidikan Islam kedepan.
            Bab kelima sebagai bab penutup, dalam bab ini dikemukakan kesimpulan yang berisi uraian penegasan jawaban terhadap pembahasan materi sebelumnya, selain itu diuraikan pula beberapa hal yang menjadi implikasi penelitian dan selanjutnya menjadi kostruksi dalam penelitian ini.


[1] Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Cet; Jakarta: Kencana, 2005), h. 159
[2] Syed Sajjad Husain dan Syed Ali Ashraf, Krisis dalam Pendidikan Islam  (Cet, I; Jakarta: Al-Mawardi Prima 2000), h. 20.
[3] Sayyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Moderen, (Cet,1; Bandung Mizan. 1994), h. 187
[4] Ahmad Tafsir, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga di Eraglobalisasi, Dalam Jurnal Pendidikan Lentera Fakultas Tarbiyah IAIN Alauddin Makassar, Edisi II, 1999, h. 3

[5] Muslih Usa (Editor), Pendidikan Islam Di Indonesia Antara Cita dan Fakta, (cet. I; Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1991), h.147-148.
[6] Roger Garaudy, Janji-Janji Islam, (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1984), h. 21.
[7] Lihat, Muhammad Abdul Ali Mursi, Westernisasi dalam Pandangan Islam, (Cet. I; Jakarta: Fikahati Aneska, 1992), h. 11.
[8]Lihat Ahmad Syafii Maarif, Peta Bumi Intelektualisme Muslim Indonesia, (Cet. III; Bandung: Mizan, 1995), h. 35
[9] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Cet. II; Bandung: Lubuk Agung, 1998), h. 1079
[10]Studi Islam adalah studi tentang ilmu-ilmu keislaman yang diperlukan oleh seorang muslim yang mencakup aspek-aspek normatif, dogmatis dan sosiologis. Lihat Mattulada, studi Islam kontemporer dalam Risli Abdullah dan M, Rusdi Karim (ed), Metodologi Penelitian Agama Islam: sebuah pengantar (Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.11. Lihat pula H. A. Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam (Jakarta: Bulan Bintang 1991), h. 37. Adapun obyek studi Islam meliputi: Tafsir, Hadist, Teologi, Filsafat, Tasawwuf, Hukum Islam sejarah kebudayaan Islam, Pendidikan Islam. Lihat misalnya, Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h. 104. Bandingkan dengan Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I dan II (Jakarta: UI-Press, 1985), h. 24 dan seterusnya. 
[11]Metode diartikan cara kerja cara yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan. Lihat Departemen Pendiikan dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cet. III; Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 580.
[12]“Pendekatan” secara estimologi berasal dari kata “dekat” mendapat awalan “pen” dan akhiran “an” yang berarti proses atau usaha dalam rangka aktivitas penelitian untuk mengadakan hubungan dengan orang yang diteliti, metode-metode untuk mencapai pengertian tentang masalah prenelitian. Lihat Departemen Pendididkan dan Kebudayaan RI, op. cit, h. 193. jika dihubungkan dengan penelitian (pengkajian) agama, maka definisi pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selajutnya digunakan dalam memahami agama. Lihat misalnya Abuddin Nata, op, cit, h. 28.
[13]Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Logos, 1999), h. 3
[14]Lihat Marwan Saridjo, Bunga Rampai Pendidikan Agama Islam, (Cet. I; Jakarta: CV. Amisco, 1999), h. 3.
.[15]Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan respon intelektual muslim terhadap dampak negatif ilmu pengetahuan dan teknologi. Istilah ini  pertama kali dipopulerkan oleh Ismail Raji al-Farugi pada seminar Internasional Pendidikan Islam di Jeddah tahun 1977.
Dikutip Penulis dalam makalah Seminar Internasional yang dihadiri para intelektual Islam dunia diantaranya: Hossein Nasr, El-Kholy, Moh.Najatullah Siddiqi, dll. Ismail Faruqi menyampaikan makalahnya berjudul; Islamisasi Sains Sosial. Sajjad Husain dan Ali Ashraf, Krisis dalam pendidikan Islam, (Cet. I; Jakarta: Al-Mawardi Prima, 2000), h. 102.
[16] Lihat Dawam Raharjo, Islam di Indonesia Menatap Masa Depan, (Cet. I; Jakarta: P3M, Guna Aksara, 1989), h. 1.
[17]Mencari Jalan Menuju Iptek” (Kajian Utama), Islah, Edisi 90 tahun V, 2000, h. 13
[18] Lihat, Jujun S. Suriasumatri, op.cit; 26
[19] R, Slamet Iman Santoso, Capita Selekta Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan, (Cet. I; Jakarta: Sinar Hudaya 1977), h. 9
[20] Jujun S. Suriasumantri,   Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Cet. III; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 1999), h. 102
[21] Lihat, Sayyed Hossein Nasr, op.cit;  15
[22] Lihat Tim Penyusun Kamus Besar Pembinaan dan Pengembangan Bahasa DEKDIKBUD RI, op.cit., h. 11.
[23] Lihat, Gibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, (Cet. IV; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), h. 5.
[24] Lihat Azyumardi Azra, Esai-Esai Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam (Cet. I; Jakarta: Logos, 1998), h. 9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar